Syariat
Islam adalah hukum yang diturunkan Allah yang mengatur segala
aspek kehidupan manusia. Pelaksanaannya adalah tuntunan keimanan
dan kalau ditinggalkan akan mendapatkan ancaman dari Allah. Ada
tiga ayat Al-Quran yang secara tegas mewajibkan atas orang-orang
Islam, untuk tunduk pada satu hukum yaitu hukum yang diturunkan
Allah. Barang siapa yang tidak melakukan hal itu maka dinilai
kafir, fasiq, dan zalim.
Untuk
menegakkan syariah (hukum) masyarakat muslim memerlukan
peradilan yang akan menegakkan hukum itu. Mengenai bagaimana
bentuk kelembagaan peradilan dan proses penyelesaian sengketa
(hukum perdata dan pidana) tidak ditemukan literatur, ketentuan
yang membahasnya secara khusus. Dalam beberapa kitab fiqih kita
hanya menemukan pembahasan mengenai prinsip-prinsip perlunya
peradilan, syarat-syarat seorang hakim dan beberapa hal tentang
pembuktian.
Ketika
Rasul masih hidup disamping
tugas-tugas kenabian sebagai pemimpin dan pembimbing
umat, beliau juga sekaligus melaksanakan tugas menyelesaikan
sengketa yang diajukan oleh umat kepadanya.
Di
zaman Khulafaur Rasyidin, barulah dimulai pengangkatan Qadhi di
setiap kota atau daerah yang dianggap perlu, sesuai dengan
kebutuhan waktu itu. Ulama sepakat bahwa hukum adanya suatu
pengadilan dalam suatu masyarakat (negara) adalah “fardhu
kifayah”.
Bagaimana
prinsip-prinsip dasar peradilan dalam Islam dapat kita baca
surat Umar Bin Khatab (Risalatul Qadha) yang sangat terkenal
yang ditujukan kepada Abu Musa al Asy’ari sebagai qadhi pada
waktu itu.
Prinsip-prinsip
pokok lembaga pengadilan yang memadai yang dicantumkan Umar Bin
Khatab dalam suratnya itu adalah :
1)
Bahwa adanya pengadilan kebutuhan yang mutlak (faridhah)
untuk penegakan hukum.
2)
Bahwa hakim harus memahami benar-benar kasus perkara yang
diajukan padanya, dan kalau sudah diputus sesuai bukti-bukti
(lahir) haruslah dilaksanakan, karena adalah tidak ada
manfaatnya sesuatu yang hak itu (putusan hakim tentu menentukan
yang hak dan atau benar) dibicarakan atau diucapkan (hakim),
kalau pelaksanaannya tidak ada atau tertunda-tunda (law
enforcement)
3)
Hakim harus bersifat tidak berpihak dalam pemeriksaan dan
memutuskan perkara, dan harus kelihatan tidak berpihak, agar
orang-orang yang kuat (bangsawan atau kaya) akan berharap akan
kecurangan hakim, dan orang-orang yang lemah tidak berputus
asadalam minta keadilan (bandingkan dengan undang-undang No. 14
tahun 1970 pasal 5).
4)
Memahami fakta-fakta dari perkara yang diajukan secara
tuntas, baru menentukan hukumannya; (dengan bahasa hukum
sekarang bagian ini menunjukan pada hukum acara yang harus
dipegang hakim demi kepastian hukum bagi pihak-pihak yang
berperkara).
5)
Keikhlasan yang harus meliputi semua tingkah laku hakim
dalam melaksanakan tugasnya, karena segala amal perbuatan
manusia tidak akan diterima tuhan, kecuali yang dilakukan dengan
ikhlas.
Prinsip-prinsip
pokok peradilan seperti yang tercantum dalam surat Umar Bin
Khatab tersebut, yaitu peradilan yang mandiri dan dihormati
hanya bertahan sampai dengan masa Khulafaur Rasyidin.
Akibat
perpecahan di kalangan umat Islam dan jatuhnya wilayah-wilayah
Islam di bawah jajahan bangsa-bangsa Barat, kajian-kajian
tentang peradilan Islam pun tidak lagi berkembang dan umat Islam
pun berkiblat dan mengikuti sistem peradilan yang dikembangakan
bangsa-bangsa Eropa.
Masalah
kelembagaan Peradilan (Qadhi) masalah ijtihad, karena itu di
antara satu negara dengan negara lain bisa saja berbeda, lalu
bagaimana dengan sistem peradilan yang berlaku di Indonesia
sekarang?
Pada
masa Rasul dan zaman Khulafaur
Rasyidin kita belum mengenal istilah Jaksa, Polisi dan Pengacara
dalam penegakan hukum kecuali hakim. Bila ada permasalahan yang
perlu diselesaikan dilaporkan langsung kepada Nabi, Khalifah
atau Qadhi.
Peradilan
Yang Mandiri dan Adil
Islam
sangat mementingkan Kebenaran dan Keadilan. Banyak ayat-ayat dan
hadits yang berbicara tentang kebenaran, keadilan, kejujuran dan
norma-norma yang harus ditegakkan. Al-Quran dan Sunnah Rasul
juga berbicara tentang kedhaliman,
keburukan yang harus dijauhi.
Allah
sesungguhnya memerintahkan berbuat keadilan, berlaku Ihsan dan
memberi kepada karib kerabat serta melarang dari perbuatan keji,
mungkar dan pembangkangan. Dia memberi pelajaran kepada kalian
semoga kalian ingat (QS. An Nahlu 90).
Proses
penyelesaian sengketa di pengadilan seperti yang berjalan
sekarang ini di Indonesia meskipun bersumber dari bangsa-bangsa
Barat selama keberadaannya berorientasi untuk mewujudkan
tegaknya keadilan tentu dapat diterima.
Apa
yang dianggap oleh muslim sebagai suatu kebaikan, maka itu
adalah suatu kebaikan (hadits).
Peran
Polisi, Jaksa, hakim dan Pengacara
Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang
Keistimewaan Aceh dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 Tentang
Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam telah memberi kesempatan
bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk melaksanakan
Syariat Islam secara kaffah.
Pasal
3 ayat (2) Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 menjelaskan bahwa
penyelenggaraan keistimewaan Aceh meliputi :
a.
Penyelenggaraaan kehidupan beragama
b.
Penyelenggaraan kehidupan adat
c.
Penyelenggaraan pendidikan
d.
Peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah
.
Penyelenggaraan
kehidupan beragama di daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan
syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat (UU No.44
Tahun 1999 pasal 1 ayat(1). Sebagai pelaksanaan dari maksud
undang-undang tersebut telah dikeluarkan pula Perda. Prov.
Daista. No.5 tahun 2000 yang antara lain ditegaskan bahwa
pemerintah daerah berkewajiban mengembangakan dan membimbing
serta mengawasi pelaksanaan syariat Islam dengan sebaik-baiknya
(pasal 3).
Dalam
pasal berikutnya dijelaskan bahwa setiap pemeluk agama Islam
wajib mentaati, mengamalkan, menjalankan Syariat Islam secara kaffah
dalam kehidupan sehari-hari dengan tertib dan sempurna, melalui
pribadi, keluarga, masyarakat dan juga dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Dalam
perkembangan selanjutnya melalui UU No. 18 Tahun 2001 (UU NAD)
untuk Aceh diberikan kesempatan untuk membentuk Mahkamah Syariat
sebagai peradilan Syariat Islam yang bebas dari pengaruh pihak
manapun (independent). Kewenangan mahkamah syariat tersebut
dilaksanakan atas Syariat Islam yang di atur lebih lanjut dengan
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Rancangan
qanun peradilan syariah Islam menetapkan bahwa kewenangan
mahkamah syariat meliputi :
1.
Ahwalusy syahsyiah
2.
Muamalat
3.
Jinayat (Pidana)
Masyarakat
Aceh ingin segera mewujudkan tegaknya Syariat Islam di Aceh
dengan harapan ingin menikmati kehidupan yang penuh kedamaian,
keberkahan, dan diridhai oleh Allah SWT. dan sesegera mungkin
dapat melepaskan diri dari ketergantungan kepada hukum yang
tidak Islami. Untuk mewujudkan hal tersebut dituntut peran yang
lebih aktif dari semua pihak (eksekutif, legislatif, yudikatif,
serta masyarakat pada umumnya).
Dalam
kesempatan ini kami ingin ikut rembug dan melihat bagaimana
peran dari polisi, jaksa, hakim, dan pengacara.
Dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia dikenal catur wangsa penegak
hukum yaitu :
-
polisi
-
hakim
-
jaksa
-
pengacara
Dalam
proses penegakan syariat Islam di Aceh keempat catur wangsa
tersebut juga mengemban peran dan tugas yang sangat penting dan
strategis. Kepala BPHN pernah mengemukakan bahwa kokohnya hukum
berlaku di masyarakat tergantung pada kokohnya tiga tonggak yang
menopangnya, yakni Aparat penegak hukum, peraturan-peraturan
hukum yang jelas dan kesadaran hukum masyarakat yang
mendukung hukum itu.
1.
Peranan polisi
Fungsi
kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintah negara di bidang
penegakan hukum, perlindungan dan pelayanan masyarakat serta
pembimbingan masyarakat dalam rangka terjamin dan tegaknya hukum
serta terbinanya ketentraman masayarakat guna terwujudnya
keamanan dan ketertiban masyarakat.
polisi
sebagaimana diamantakan dalam UU NAD NO 18 tahun 2001 pasal 21
ayat (4): hal-hal mengenai tugas fungsional kepolisian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bidang ketertiban dan
ketentraman masyarakat diatur lebih lanjut dengan qanun Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Selanjutnya Ayat (5) pelaksanaan
fungsional kepolisian sebagaimana di maksud dalam ayat (4) di
bidang ketertiban dan ketentraman masyarakat
dipertanggungjawabkan oleh KAPOLDA kepada gubernur Provinsi NAD.
Jelaslah
kiranya bahwa seorang yang diangkat menjadi seorang POLRI di
Provinsii NAD mampu memahami sistem hukum dalam masyarakat Aceh,
budaya dan adat istiadat.
Meskipun
dalam UU NAD kepolisian daerah provinsi NAD tidak langsung di
bawah Gubernur dan masih merupakan bagian dari kepolisian Negara
Republik Indonesia, namun polisi yang bertugas di Aceh harus
memperhatikan kesadaran hukum yang dianut oleh masyarakat Aceh
yaitu pelaksanaan Syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari
secara kaffah.
Sudah
saatnya polisi di NAD tampil dalam profil dan bentuk yang
Islami. Kemampuan dalam pemahaman tentang ajaran Syariat Islam
mutlak harus dimilki oleh polisi yang ditempatkan di Aceh.
Tantangan
yang dihadapi sangatlah berat, karena untuk merubah paradigma
POLISI YANG ISLAMI membutuhkan anggaran yang sangat besar dan
memakan waktu yang lama. Mulai dari perekrutan pendidikan dan
latihan hingga penugasan di tempat tugas. Kesiapan qanun-qanun
sangat membantu aparat kepolisian dalam bertindak di lapangan
sehingga akan kecil kemungkinan terjadi kesalahan prosedur di
lapangan baik disengaja maupun kekhilafan aparat kepolisian
sendiri. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana telah mengatur tentang kedudukan, peranan dan tugas
kepolisian negara Republik Indonesia dalam kaitannya dengan
proses pidana sebagai penyelidik dan penyidik serta melaksanakan
koordinasi dan pengawasan terhadap penyidik Pegawai Negeri Sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya. Pejabat kepolisian negara
R.I senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan
mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan serta menjunjung
tinggi HAM dalam melaksanakan tugas dan wewenang tersebut,
kepolisian R.I mengutamakan tindakan pencegahan dengan tidak
mengabaikan kode etik kepolisian yang menjadi petunjuk tingkah
laku (Code of cinduct).
II.
Peranan Jaksa
Jaksa
adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang (UU No.5
Tahun 1991) untuk bertindak sebagai penuntut umum serta
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Penuntut
umum adalah jaksa yang diberi
wewenang oleh Undang-Undang untuk melaksanakan penuntutan dan
melaksanakan putusan. Penuntutan adalah tindakan penuntut
umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang
berwenang.
Dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1991 pasal 24 ayat (1) tugas
kejaksakan dilakukan oleh kejaksaan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam sebagai bagian dari Kejaksaan Agung R.I
Pelaksaaan
tugas dan wewenang jaksa mempunyai 3 (tiga) bidang
:
1.
Bidang Pidana meliputi
a.
Melaksanakan penuntutan dalam perkara pidana
b.
Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan
c.
Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas
bersyarat
d.
Melengkapi berkas perkara tertentu untuk itu dapat
melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan
dan dalam pelaksanaan dikoordinasikan dengan penyidik.
2.
Bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan
kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupu di luar pengadilan
untuk dan atas nama negara atau pemerintahan.
3.
Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan
turut menyelenggarakan kegiatan :
a.
Peningkatan Kesadaran hukum masyarakat
b.
Pengamanan kebijaksanaan penegakan hukum
c.
Pengaman peredaran barang cetakan
d.
Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara
e.
Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama
f.
Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik
kriminal
Dengan
pemberlakuan Syariat islam, kejaksaan dituntut untuk mampu
mereposisi dirinya demi susksesnya pembangunan hukum di Aceh
dengan tidak melupakan asas legalitas maupun asas praduga tak
bersalah (“Presumption of Innoncent”, sumber hukum Islam
yang juga Qanun-qanun yang merujuk pada hukum Islam menjadi
perhatian kita semua.
III.
Peranan Hakim
Pengadilan
adalah benteng terakhir dari keadilan bila pengadilan telah
tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik, maka keadilan pun
hanya harapan semata. Apabila keadilan tidak lagi bisa
didapatkan di pengadilan maka orang pun tidak lagi dapat taat
kepada hukum.
Dari
ungkapan di atas maka peran aparatur pengadilan terutama hakim
sangat penting dalam dalam penegakan hukum (Syariat Islam).
Hakim atau pengadilan pada prinsipnya adalah pasif, artinya
hakim tidak mencari-cari perkara, tapi melayani pihak yang
mengadu karena merasa haknya diragukan oleh pihak lain. Dalam
menyelesaikan perkara yang diajukan kepada hakim wajib
memperhatikan dengan sungguh-sungguh niali-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat sehingga putusannya sesuai dengan
keadilan.
Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman,
pasal 27 ayat (1) menjelaskan bahwa: hakim sebagai penegak hukum
dan kedilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat”. Hakim, dalam melaksanakan
tugasnya harus mampu menjadikan lembaga pengadilan/ mahkamah
sebagai lembaga pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang mandiri
sebagai mana yang dituntut oleh UUD 1945.
Peradilan
yang mendiri adalah juga salah satu prinsip peradilan
dalam Islam. Dalam surat Umar Bin Khatab (Risalatul Qadha) telah
dirumusakan bagaimana prinsip-prinsip pokok peradilan yang
mandiri dan bagaimana sikap hakim dari suatu pengadilan yang
madiri, yaitu :
1.
hakim harus benar-benar memahami hukum
2.
hakim harus bersifat tidak memihak, dalam pemeriksaan dan
memutuskan perkara.
3.
putusan hakim harus dapat dilaksanakan (Law Enforcement)
4.
hakim harus mengikuti hukum acara demi kepastian hukum
bagi pihak-pihak yang berperkara.
Prinsip-prinsip
peradilan yang madiri dan sikap hakim seperti yang dikemukakan
di atas lebih menjadi suatu ketentuan di setiap negara didunia
meskipun mereka tidak menyebutkan sumbernya dari surat Umar Bin
Khatab tersebut
Hakim
sangat berperan dalam mewujudkan peradilan yang madiri dari
segala macam intervensi hakim yang dapat melaksanakan tugas
tersebut adalah hakim-hakim yang memenuhi syarat-syarat yaitu
hakim yang alim dalam hukum Syariat dan memiliki keterampilan
dalam melaksanakan hukum.
IV.
Pengacara
Tugas
pokok pengacara adalah membantu pengadilan melaksanakan keadilan
dan hukum. tugas yang diembanya tidak kurang dari tugas yang
diemban oleh para hakim dan pejabat pengadilan yang lain. Karena
itu sebelum memulai tugasnya pengacara harus disumpah terlebih
dahulu di muka pengadilan.
Pengacara
(advocat) dengan keahlian yang dimilikinya membantu perseorangan
dalam masyarakat dengan mewakilinya di muka pengadilan atau pada
tahap pemeriksaan/penyidikan di kepolisian atau kejaksaan atau
kejaksaan dalam perkara pidana/jinayah.
Peran
pengacara di pengadilan adalah untuk membantu hakim dalam
menegakkan hukum, sehingga hakim tidak salah dalam menegakan
hukum. Pengacara bekerja untuk membantu orang yang teraniaya
atau karena haknya dilanggar, jiwanya terancam, pribadinya
dihina atau untuk membantu orang-orang yang tidak mengerti
bagaimana beracara dipengadilan.
Kehadiran
pengacara di depan sidang pengadilan juga dapat mencegah
penyelewengan yang mungkin dilakukan oleh hakim. Tanpa kehadiran
pengacara di depan sidang pengadilan sulit untuk mewujudkan
pengadilan yang benar-benar dapat menegakkan keadilan.
Untuk
dapat mengemban amanah yang baik terutama dalam penegakan
syariat Islam, atau membela kliennya di depan mahkamah
Syar’iyah, maka pengacara haruslah memahami Syariat Islam
terutama yang berkenaan dengan masalah jinayat. Selain itu,
pengacara haruslah tidak berorientasi semata-mata kepada materi
sehingga akan menempuh segala cara untuk memenangkan kliennya.
Dengan
kualifikasi harus menguasai Syariat Islam, seakan peluang dari
Alumni (Fakultas Syariah) untuk menjadi pengacara haruslah
diberi kesempatan dan bagi sarjana hukum harus membekali diri
tentan Syariat Islam.
|